KONSOLIDASI DEMOKRASI SUMUT


Jejak Politik Aliran di Sumatera Utara

1 Februari 2012 - ”Loyalitas etnis telah melingkupi politik partisan. Etnisitas telah memberikan titik fokus tidak hanya pada rasa identitas pribadi seseorang dan penilaiannya terhadap orang lain, tetapi juga pada konsepsinya terhadap hubungannya dengan sistem pemerintahan Indonesia.” (William Liddle) 

Oleh : KHAERUDIN

Liddle mungkin menjadi satu-satunya indonesianis terkemuka yang paling sahih bicara soal bagaimana ikatan primordial, mulai dari suku bangsa hingga identitas agama menjadi salah satu preferensi politik bagi penduduk di Sumatera Utara. Guru Besar Ilmu Politik Ohio State University tersebut melakukan penelitian lapangan yang intensif di Pematang Siantar, kota terbesar kedua di Sumut setelah Medan, dalam kurun waktu 1963-1964.


Tesis Liddle yang merujuk pada hasil Pemilu 1955 di Pematang Siantar dan Simalungun menyimpulkan, identitas etnis mempunyai konsekuensi tertentu terhadap sikap politik seseorang dan cara melihat struktur persaingan politik. Dari hasil Pemilu 1955 itu, Liddle menyebut, persepsi-persepsi etnisitas itu membuat adanya identifikasi partai tertentu dengan suku bangsa tertentu, seperti Parkindo dengan masyarakat Batak Tapanuli Utara dan Masyumi dengan orang Batak Tapanuli Selatan.


Menurut Liddle, etnisitas memang bukan satu-satunya basis bagi organisasi politik di Pematang Siantar dan Simalungun. Loyalitas primordial dalam berbagai jenis, kekerabatan, etnis, ras, bahasa, agama, dan budaya, sangat penting dalam menentukan politik di tingkat daerah (Liddle, 1992). Menurut dia, itu terjadi di negara baru, dalam kasus Pematang Siantar, dia melihatnya sebagai kesimpulan dari hasil Pemilu 1955.


Liddle menyatakan, meski barangkali ada kesadaran nasional yang sedang tumbuh, loyalitas inilah yang menentukan struktur dan pertalian bagi sebagian besar peranan seseorang, baik yang bersifat politis maupun lainnya.


Sebenarnya, selain Liddle, indonesianis dari Yale University, Lance Castles, pernah melacak lebih jauh bagaimana ikatan primordial ini menjadi begitu dinamis dalam kehidupan politik di Sumut. Castles melacak hingga ke era awal mula penguasaan kolonial Belanda di daerah Tapanuli, baik utara maupun selatan. Salah satu yang dia gambarkan adalah upaya Belanda membentuk kelompok kesukuan di Tapanuli.


Castles, antara lain, menunjukkan betapa orang selatan dan utara sangat berbeda ketika hendak membentuk dewan kesukuan sebagai bagian dari rencana desentralisasi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Orang-orang di Tapanuli Utara menginginkan satu dewan, yang disebut Batakraad, dan menolak pembagian kursi yang sama di antara utara dan selatan (Castles, 2001). Di Sibolga, Angkola-Sipirok dan Padang Lawas dengan penduduk mayoritas Muslim tetap mendukung usul satu dewan dengan nama Tapanoeliraad. Sementara Mandailing (selatan) meminta dua dewan terpisah antara utara dan selatan. Bahkan, Castles menunjukkan persinggungan antara penyebaran Islam di selatan dan menguatnya nasionalisme di daerah itu dengan reaksi misi Kristen yang berbasis di utara.


Tak sepenuhnya hilang


Hampir lima dekade setelah kerja lapangan Liddle di Pematang Siantar dan Simalungun, potret politik di Sumut masih tak jauh berbeda. Kemunculan Golkar sebagai kekuatan politik utama Orde Baru dan fusi berbagai partai berbasis keagamaan pada awal 1970-an lewat Partai Demokrasi Indonesia untuk partai-partai Kristen dan nasionalis serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk partai-partai Islam memang mengikis ikatan primordial, tetapi tak sepenuhnya hilang.


Kebijakan deideologisasi Orde Baru memang efektif memangkas apa yang oleh para ahli ilmu politik disebut aliran. Basis aliran dalam kasus Sumut yang ditunjukkan Liddle seperti kehilangan jejaknya pada masa Orde Baru.


Pengajar Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Tonny P Situmorang, menunjukkan kemenangan Golkar selama lima kali pemilu Orde Baru di Pematang Siantar memupus sisa-sisa politik aliran di daerah itu sebagaimana ditunjukkan Liddle dari hasil Pemilu 1955.


Tesis Tonny tentang tingkah laku pemilih dalam Pemilu 1992 di Pematang Siantar menyebutkan, ada empat faktor yang memengaruhi pemilih menentukan pilihannya, yakni identifikasi partai, mobilisasi pemerintah, status sosial ekonomi, dan loyalitas kesukuan. Variabel terakhir, menurut Tonny, tidak lagi kuat pengaruhnya dalam memilih parpol. Keberhasilan Golkar yang saat itu belum berwujud parpol dalam mengakomodasi semua aliran dan kelompok suku di satu sisi dengan parpol yang masih memiliki loyalitas kesukuan di sisi lain disebut Tonny ikut memupus jejak politik aliran di daerah ini.


Perubahan kembali terjadi ketika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Tonny mengatakan, dalam pemilu legislatif, politik aliran memang tak lagi kentara meski tetap tak terhapus seluruhnya. ”Katakanlah suara PDS (Partai Damai Sejahtera) tetap dari daerah Tapanuli, Siantar, atau Simalungun. PPP pun basisnya tetap dari daerah yang mayoritas Muslim. Tetapi, partai-partai nasionalis tetap punya irisan dari kedua wilayah ini, baik yang berpenghuni mayoritas Islam maupun Kristen,” katanya.


Menurut Tonny, dengan pemilihan langsung, calon kepala daerah memang tak lagi dilihat dari parpol mana dia didukung, tetapi latar belakang calon yang jadi referensi pemilih. ”Yang paling terasa pilkada gubernur periode sebelumnya, naiknya Syamsul Arifin, dengan memperhatikan konstelasi yang mendukung kandidat lainnya, memang masih terasa adanya politik aliran,” katanya.


Memang sosok dan ketokohan Syamsul sebagai orang Melayu tak terlalu signifikan jika dihubungkan dengan jumlah pemilih bersuku bangsa Melayu di Sumut. Dari data sensus penduduk Badan Pusat Statistik, Melayu merupakan suku nomor lima terbanyak di Sumut. Di atasnya masih ada Nias, Mandailing, Toba, dan Jawa. Namun, dengan melihat pesaing Syamsul, seperti RE Siahaan (Toba dan Kristen), misalnya, raihan suaranya tetap didominasi dari daerah Tapanuli Utara dan sekitarnya yang penduduknya mayoritas Kristen.


”Karena itu terbukti memang pemilih pada saat itu masih merepresentasikan calon dari suku masing-masing,” katanya.


Pernyataan Tonny tak beda jauh dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Perbincangan di sebuah kedai kopi di Pematang Siantar yang direkam Kompas menunjukkan masih kuatnya preferensi etnis dan latar belakang agama calon gubernur. Pengunjung kedai kopi yang rata-rata beretnis Batak Toba dan beragama Kristen berharap mantan Bupati Tapanuli Utara yang juga pernah menjabat Sekretaris Daerah Sumut RE Nainggolan (Toba dan Kristen) bisa maju dalam pemilihan gubernur tahun 2013.


Memang kentalnya politik aliran dalam pilkada masih harus diuji kembali. Mantan Ketua DPW Partai Bintang Reformasi Sumut Raden Muhammad Syafii memberikan penjelasan, sebenarnya politik aliran di Sumut relatif cair. Aliran hanya akan beroperasi ketika kedua kubu berhadapan secara langsung dalam kontestasi politik seperti pilkada. Hasil Pilkada Medan tahun 2010 adalah contohnya. Pada putaran kedua Pilkada Medan, Rahudman Harahap yang beragama Islam harus berhadapan dengan Sofyan Tan yang beragama Buddha. Majunya Sofyan hingga putaran kedua mengejutkan. Sofyan satu-satunya calon keturunan Tionghoa yang maju dalam Pilkada Medan.


”Ketika sudah berhadapan antara kita dan mereka, mau enggak mau, yang jadi pilihan pada akhirnya yang satu identitas dengan kita. Tetapi, hasilnya mungkin akan lain jika Rahudman berhadapan dengan calon wali kota yang juga beragama Islam,” kata Raden.


Namun, Sofyan mengakui, kekalahannya sebenarnya bukan karena dirinya beragama Buddha atau keturunan Tionghoa. Dia memberikan bukti, perolehan suaranya di daerah-daerah mayoritas Muslim juga tinggi.


”Saya kalah lebih karena kampanye hitam,” katanya. (sumber: Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar